Jarak antara desa Olehsari, Kecamatan Glagah, dengan Desa Bakungan juga kecamatan yang sama tidak lebih dari 5 kilometer. Namun dua desa ini memiliki tradisi berbeda, meski namanya sama, yaitu Seblang. Sehingga muncul nama Seblang Olehsari dan Seblang Bakungan. Namun secara subtansi, kedua ritual itu memiliki satu kesamaan arah dan tujuan yang ingin dicapai. Keduanya mencerminkan ritual masyarakat agraris yang menempatkan Dewi Sri sebagai simbol kesuburan. Dewi yang diyakini sebagai penjaga kesuburan tanah pertanian ini, diperlakukan sedimikian rupa oleh masyarakat petani tradisional. Bahkan tradisi “Kebo-Keboan” di desa Alasmalang, Singojuruh Banyuwangi, juga sebagai wujud pernghormatan kepada Dewi Sri.
Setelah merayakan Idul Adha, atau Lebaran Haji, Warga Bakungan sibuk mempersiapkan pementasan Seblang Bakungan. Ritual tahunan ini, meski dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tali persaudaraan pendahulu Seblang. Namun dalam pelaksanaan, selalu mendapat dukungan dari masyarakat Desa Bakungan. Bahkan mereka percaya, bahaya pageblug atau serangan hama terhadap tanaman padi mereka akan terjadi, bila tidak menggelar ritual ini.
Ritual yang diperkirakan dilakukan sejak 316 tahun silam itu, dalam perjalanannya ternyata tidak terus dilakukan. Bahkan pernah vakum beberapa lama, warga Bankungan tidak pernah menggelar ritual Seblang, dengan berbagai alasan. Namun tahun 1930, ritual seblang kembali digelar, setelah Desa Bakungan terkena wabah pageblug. Sebetulnya, ritual ini seperti halnya ritual masyakata agraris (petani) dan maritim (nelayan), selain sebagai wujud ungkapan syukur terhadap nikmat yang telah diberikan selama setahun berjalan. Juga sebagai bentuk pengharapan, agar tahun-tahun mendatang selalu dilindungi dari marabahaya dan dilimpahkan rejekinya.
Perbedaan mendasar Seblang Olehsari dengan Seblang Bakungan, waktu pelaksanaan. Seblang Olehsari setelah hari raya Idul Fitri (Lebaran), selama 7 hari berturut-turut pada siang hari. Penarinya orang yang lanjut usia, atau sudah tidak mentruasi. Ompog (Tutup Kepala)-nya menggunakan kulit dibungkus kain putih dan dua keris. Seblang Bakungan setelah Hari Raya Iduk Adha (Lebahara Haji), hanya semalam suntuk. Penarinya masih gadis yang belum haid dari keturunan penari sebalang sebelumnya. Omprognya dari dedaunan. Namun keduanya mempunyai kesamaan, yaitu ditarikan dalam keadaan tidak sadar (trance). Didahului dengan melakukan ritual makam sesupuh desa, serta ada tradisi menjual rangkaian bunga kepada penonton.
Pada saat ritual Seblang tahun ini, kembali Suhyati yang diperkirakan berusia 70 tahun yang menjadi penari. Ini sudah dilakukan selama 15 tahun berturut, karena ritual adat ini harus ia lakoni hingga meninggal dunia. Kemudian penggantinya, akan ditentukan melalui wangsit dan orangnya harus masih keturunan penari Seblang pertama, yaitu Mbah Dewi.
Sebelum dilakukan pementasan tari semalam suntuk nonstop, warga setempat melakukan acara selamatn desa dengan membawa “ancak”. Dulu ancak ini terbuat data batang daun pisang, kemudian dibentu segi empat atau segi enam. Alas dan tutupnya menggunakan daun pisang. Pokoknya ramah lingkungan. Namun sekarang, ada yang mengganti dengan baki dan kertas minyak. Selain “Ancak” berisi nasi dan lauk pauknya. Juga ada buah-buahan, semua diambil dari hasil bumi warga Bakungan.
Selamatan inilah, yang banyak ditemukan pada masyrakat agraris lainnya. Tentunya dalam bentuk penampilan yang berbeda-beda. Seblang Bakungan adalah tradisi masyarakat Using, yang hingga kini masih terus dilestarikan. Ada juga yang melakukan tanpa ritual kesenian, hanya berdoa bersama di pojok-pojok kampung, sambil menukarkan “Ancak” untuk disantap bersama usia doa dibacakan. Meskipun tidak ada dalam ajaran Islam, namun doa-doa selamatan desa itu semua menggunakan doa berhasa Arab. Ada juga sebagian yang mendahului dengan bahasa lokal masing-masing.
Sumber : http://hasansentot2008.blogdetik.com/2008/12/22/seblang-bakungan-tradisi-khas-masyarakat-agraris/
0 komentar:
Posting Komentar